Latest Movie :

Sidrap


1304129215369140234
Kantor Bupati Sidrap (foto : google)

DALAM Kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas pribadi, sebagaimana banyak diungkap dalam Lontaraq Bugis, yaitu Maccai na Malempu; Waraniwi na Magetteng (Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian.). Ungkapan ini bermakna bahwa kecerdasan saja belum cukup, kecerdasan haruslah disertai dengan kejujuran. Banyak orang cendekia menggunakan kecerdasannya membodohi orang lain. Karena itu, kecerdasan haruslah disertai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup tapi harus disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat disebut orang nekad.
Salah seorang pemimpin bugis yang dalam Sejarah Sidenreng Rappang Abad XVI, dikenal memiliki empat kualitas pribadi tersebut adalah La Pagala Nene’ Malomo, seorang hakim (pabbicara) dan murid dari La Taddampare, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang amat dicintainya karena telah terbukti mengambil luku orang lain tanpa seizin dengan pemiliknya. Tentu saja kejadian itu telah mencoreng muka ayahnya sendiri yang dikenal sebagai hakim yang jujur. Ketika ditanya mengapa ia memidana mati putranya sendiri dan apakah dia menilai sepotong kayu sama dengan jiwa seorang manusia, beliau menjawab, “Ade’e temmakeana’ temmakke eppo” (Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu). Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan dengan tokoh -tokoh Bugis bijak lainnya seperti Puang Rimaggalatung dan Kajao Laliddong.
Pidana mati itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan harga dirinya sebagai hakim yang jujur di tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan kepada putranya sendiri, tentulah ia akan menanggung malu yang sangat dalam karena akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan wibawanya sebagai hakim yang jujur akan hilang seketika. Bagi masyarakat Bugis, falsafah “taro ada taro gau” (satunya kata dengan perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia yang tidak bisa menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya akan mendapat gelar sebagai manusia “munafik” (munape), suatu gelar yang sangat dihindari oleh manusia Bugis.

Salah satu petuah dari Nene’Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap harus mempunyai sifat Macca (pintar), Malempu (jujur), Magetteng (konsisten), Warani (berani), Mapato (rajin), Temmapasilengang (adil) serta sifat Deceng Kapang (menghormati orang lain). Nene’Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat Bugis Sidrap, yang terkenal dengan 5 (lima) M, yaitu : Massappa (mencari rezeki yang halal), Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal), Mappabotting (mempererat silaturrahmi dengan ikatan pernikahan), Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji) dan Mattaro Sengareng (merendahkan diri dan keikhlasan).
Salah satu pappaseng (pesan) Nene’Mallomo bagi aparat kerajaan adalah : Tellu tau kupaseng : Arung Mangkaue’, Pabbicarae’, Suroe’. Aja pura mucapa’i lempue’ o Arung Mangkau’. Malempuko mumadeceng bicara, mumagetteng, apak i ariasennge’ malempu, madeceng bicarae’ lamperi sunge’. Apak teammate lempue’, temmaruttung lappae’, teppettu maompennge’, teppolo masselomoe’. Artinya, “Aku berpesan kepada tiga golongan : Maharaja, pabbicara dan pesuruh. Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu, wahai maharaja. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab kejujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur”.
Oleh karena kearifan serta kebijaksanaannya, Nene’Mallomo kemudian menjadi ikon Kabupaten Sidenreng Rappang dan sering disebut sebagai “Bumi Nene’Mallomo”. Kabupaten Sidrap dalam lingkup Propinsi Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah lumbung beras. Keberhasilan panen padi di Sidrap adalah buah ketegasan Nene Mallomo’ dalam menjalankan hukum dan adat, dalam budaya masyarakat setempat dikenal Tudang Sipulung (Musyawarah besar) masalah pertanian yang dihadiri pemuka adat dan tokoh masyarakat. Sampai saat ini tradisi ini masih hidup dan dilaksanakan setiap tahun.
Share this article :

Sidrap

| |


1304129215369140234
Kantor Bupati Sidrap (foto : google)

DALAM Kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas pribadi, sebagaimana banyak diungkap dalam Lontaraq Bugis, yaitu Maccai na Malempu; Waraniwi na Magetteng (Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian.). Ungkapan ini bermakna bahwa kecerdasan saja belum cukup, kecerdasan haruslah disertai dengan kejujuran. Banyak orang cendekia menggunakan kecerdasannya membodohi orang lain. Karena itu, kecerdasan haruslah disertai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup tapi harus disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat disebut orang nekad.
Salah seorang pemimpin bugis yang dalam Sejarah Sidenreng Rappang Abad XVI, dikenal memiliki empat kualitas pribadi tersebut adalah La Pagala Nene’ Malomo, seorang hakim (pabbicara) dan murid dari La Taddampare, menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang amat dicintainya karena telah terbukti mengambil luku orang lain tanpa seizin dengan pemiliknya. Tentu saja kejadian itu telah mencoreng muka ayahnya sendiri yang dikenal sebagai hakim yang jujur. Ketika ditanya mengapa ia memidana mati putranya sendiri dan apakah dia menilai sepotong kayu sama dengan jiwa seorang manusia, beliau menjawab, “Ade’e temmakeana’ temmakke eppo” (Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu). Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan dengan tokoh -tokoh Bugis bijak lainnya seperti Puang Rimaggalatung dan Kajao Laliddong.
Pidana mati itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan harga dirinya sebagai hakim yang jujur di tengah-tengah masyarakatnya. Sekiranya ia memberikan pengampunan kepada putranya sendiri, tentulah ia akan menanggung malu yang sangat dalam karena akan dicibir oleh masyarakat sekitarnya, dan wibawanya sebagai hakim yang jujur akan hilang seketika. Bagi masyarakat Bugis, falsafah “taro ada taro gau” (satunya kata dengan perbuatan) adalah suatu keharusan. Manusia yang tidak bisa menyerasikan antara perkataan dan perbuatannya akan mendapat gelar sebagai manusia “munafik” (munape), suatu gelar yang sangat dihindari oleh manusia Bugis.

Salah satu petuah dari Nene’Mallomo mengatakan bahwa orang Sidrap harus mempunyai sifat Macca (pintar), Malempu (jujur), Magetteng (konsisten), Warani (berani), Mapato (rajin), Temmapasilengang (adil) serta sifat Deceng Kapang (menghormati orang lain). Nene’Mallomo juga merupakan penggagas falsafah hidup masyarakat Bugis Sidrap, yang terkenal dengan 5 (lima) M, yaitu : Massappa (mencari rezeki yang halal), Mabbola (membangun rumah dari rezeki yang halal), Mappabotting (mempererat silaturrahmi dengan ikatan pernikahan), Mappatarakka Hajji (menunaikan ibadah haji) dan Mattaro Sengareng (merendahkan diri dan keikhlasan).
Salah satu pappaseng (pesan) Nene’Mallomo bagi aparat kerajaan adalah : Tellu tau kupaseng : Arung Mangkaue’, Pabbicarae’, Suroe’. Aja pura mucapa’i lempue’ o Arung Mangkau’. Malempuko mumadeceng bicara, mumagetteng, apak i ariasennge’ malempu, madeceng bicarae’ lamperi sunge’. Apak teammate lempue’, temmaruttung lappae’, teppettu maompennge’, teppolo masselomoe’. Artinya, “Aku berpesan kepada tiga golongan : Maharaja, pabbicara dan pesuruh. Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu, wahai maharaja. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab kejujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur”.
Oleh karena kearifan serta kebijaksanaannya, Nene’Mallomo kemudian menjadi ikon Kabupaten Sidenreng Rappang dan sering disebut sebagai “Bumi Nene’Mallomo”. Kabupaten Sidrap dalam lingkup Propinsi Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah lumbung beras. Keberhasilan panen padi di Sidrap adalah buah ketegasan Nene Mallomo’ dalam menjalankan hukum dan adat, dalam budaya masyarakat setempat dikenal Tudang Sipulung (Musyawarah besar) masalah pertanian yang dihadiri pemuka adat dan tokoh masyarakat. Sampai saat ini tradisi ini masih hidup dan dilaksanakan setiap tahun.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BLOG BUGIS SIDRAP - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger