Pangkajene ..........tempat dimana aku dilahirkan dan dibesarkan ............aQ bangga dengan kota ini, walau kemajuan Pembangunannya tidaklah begitu pesat namun masyarakatnya ramah-ramah dan sopan santun yang biasa dikenal sebagai kota lumbung padi (Kota Beras) disudut pandan lain juga dikenal hasil peternakan ayam petelur dan ayam Ketawanya.
Pangkajene ..........lahir dari dua kota yaitu Sidenrang dan Rappang hingga disingkat Sidrap dan mempunyai danau yang dinamakan danau Sidenreng. danau ini berperoduksi beribu-ribu Ton ikan air tawar setiap bulannya, disisilain aQ pun prihatin dengan banyaknya penduduk yang mulai bercocok tanam dipinggiran danau atau mendirikan Rumah tinggal hingga menyebabkan pendangkalan .
Pangkajene..........dibesarkan dari 11 Kecamatan dan 105 desa. dan masyarakatnyapun rata-rata bercocok tanam dengan jalan bertani. berkebun,beternak dan mencari ikan didanau Sidenreng . apapun itu tetaplah berpenghasilan musinan sehingga terkadang perekonomian lamban dan berharap dari bantuan-bantuan koperasi yang rata-rata berasal dari daerah lain.
Profil Sidrap Kabupaten Sidenreng Rappang atau Sidrap dengan ibukotanya Pangkajene berjarak ±183 km dari Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas wilayahnya mencapai 1.883,25 km²,… more →
Kabupaten Sidenreng Rappang atau Sidrap dengan ibukotanya Pangkajene berjarak ±183 km dari Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas wilayahnya mencapai 1.883,25 km², yang secara administratif terbagi dalam 11 kecamatan yaitu:
juga terdiri atas 38 kelurahan, dan 65 desa. Secara geografis, Kabupaten ini terletak di sebelah Utara Kota Makassar, tepatnya diantara titik koordinat :
Sidenreng Rappang juga dikenal dengan sebutan Bumi Nene’ Mallomo. Nama ini diambil dari seorang Cendikiawan yang diyakini pernah hidup di Kerajaan Sidenreng di masa pemerintahan La Patiroi Addatuan Sidenreng VII. Nene’ Mallomo adalah penasehat utama Addatuang dalam hukum dan pemerintahan. Ia dikenang karena kecendekiawannya dalam merumuskan hukum ketatanegaraan dan kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Secara garis besar masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang mayoritas suku Bugis.
Berbagai literatur yang ada menyebutkan, eksitensi Kerajaan ini turut memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sidenreng merupakan salah satu dari sedikit kerajaan yang tercatak dalam kitab “La Galigo” yang amat melegenda. Sementara masa La Galigo, menurut Christian Pelras yang menulis buku Manusia Bugis, berlangsung pada periode abad ke 11 dan 13 Masehi. Ini berarti Sidenreng merupakan salah satu kerajaan kuno atau pertama di Sulawesi Selatan. Di abad selajutnya, Kerajaan Sidenreng yang berpusat di sekitar danau besar (Tappareng karaja) menjadi salah satu negeri yang ramai dan terkenal hingga ke benua lain. Ini sesuai dengan catatan seorang Portugis di abad ke-16 M yang menuliskan Sidereng sebagai “…Sebuah kota besar dan terkenal, berpusat di sebuah danau yang dapat dilayari, dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman.” (Tiele 1880, IV;413).
Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugsi lainnya malah sempat menetap selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun 1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai dengan penduduk sekitar 300.000 orang. Ada yang berpendapat bahwa asumsi penduduk di tahun 1548 M yang disebut Pinto terlalu besar. Namun dengan kebesaran dan kejayaan Sidenreng di masa itu, tak menutup kemungkinan bahwa Sidereng mempunyai wilayah yang jauh lebih luas daripada Kabupaten Sidenreng Rappang atau wilayah Ajatappareng sekarang ini.
Ia juga menceritakan aktivitas perdagangan di kerajaan ini yang dikunjungi pedangang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis dengan muggunakan jalur laut menuju Tappareng Karaja. Pinto menulis, “Sebuah fusta besar (kapal layar portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya) dapat berlayar dari laut munuju Sidereng.”(Wicki, Documents Indica, II: 420-2).
Hal ini diperkuat oleh Crawfurd pada 1828 (Descriptive Dictionary; 74, 441) yang menulis, “pada kampung-kakmpung di tepi (danau)… berlangsung perdagangan luar negeri yang peset. Perahu-perahu dagang dihela ke hulu sungai Cenrana…Kecuali pada musim kemarau, airnya cukup dalam untuk dilewati perahu-perahu paling besar sekalipun.”
Sejarawan lainnya mencatat, “Sidenreng adalah perbatasan wilayah pengaruh Luwu dan Siang, terletak di antara dataran yang merupakan satu-satunya celah alami antara gugusan gunung yang memisahkan pantai barat dan timur semenanjung Sulawesi Selatan.” (Andaya 2004, Wari san Arung Palakka, Sejarah Sulawesi di Abad XVII).
Dalam literatur lain, Rappang disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai daerah hilir Sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Sidenreng, Sawitto, Alitta, Suppa, dan Bacukiki, mereka membentuk persekutuan Aja’Tappareng (wilayah barat danau) untuk membendung dominasi Luwu. Persekutuan itu kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluarga raja-raja mereka.
Pangkajene..........dibesarkan dari 11 Kecamatan dan 105 desa. dan masyarakatnyapun rata-rata bercocok tanam dengan jalan bertani. berkebun,beternak dan mencari ikan didanau Sidenreng . apapun itu tetaplah berpenghasilan musinan sehingga terkadang perekonomian lamban dan berharap dari bantuan-bantuan koperasi yang rata-rata berasal dari daerah lain.
Profil Sidrap Kabupaten Sidenreng Rappang atau Sidrap dengan ibukotanya Pangkajene berjarak ±183 km dari Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas wilayahnya mencapai 1.883,25 km²,… more →
Kabupaten Sidenreng Rappang atau Sidrap dengan ibukotanya Pangkajene berjarak ±183 km dari Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas wilayahnya mencapai 1.883,25 km², yang secara administratif terbagi dalam 11 kecamatan yaitu:
- Kecamatan Panca Lautang
- Kecamatan Tellu LimpoE
- Kecamatan Watang Pulu
- Kecamatan MaritengngaE
- Kecamatan Baranti
- Kecamatan Panca Rijang
- Kecamatan Kulo
- Kecamatan Sidenreng
- Kecamatan Pitu Riawa
- Kecamatan Dua PituE
- Kecamatan Pitu Riase
juga terdiri atas 38 kelurahan, dan 65 desa. Secara geografis, Kabupaten ini terletak di sebelah Utara Kota Makassar, tepatnya diantara titik koordinat :
- Lintang Selatan 3o43 – 4o09
- Bujur Timur 119o41 – 120o10
- Sebelah Utara : Kabupaten Pinrang dan Enrenkang.
- Sebelah Timur : Kabupaten Luwu dan Wajo.
- Sebelah Selatan : Kabupaten Barru dan Soppeng.
- Sebelah Barat : Kabupaten Pinrang dan Kota Parepare.
Sidenreng Rappang juga dikenal dengan sebutan Bumi Nene’ Mallomo. Nama ini diambil dari seorang Cendikiawan yang diyakini pernah hidup di Kerajaan Sidenreng di masa pemerintahan La Patiroi Addatuan Sidenreng VII. Nene’ Mallomo adalah penasehat utama Addatuang dalam hukum dan pemerintahan. Ia dikenang karena kecendekiawannya dalam merumuskan hukum ketatanegaraan dan kejujurannya dalam menegakkan keadilan. Secara garis besar masyarakat Kabupaten Sidenreng Rappang mayoritas suku Bugis.
Sejarah Sidrap
Sebelum ditetapkan menjadi sebuah Kabupaten, Sidenreng Rappang atau yang lebih akarab disingkat SIDRAP, memiliki sejarah panjang sebagai kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi Selatan sejak abad XIV, disamping Kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, dan Wajo.Berbagai literatur yang ada menyebutkan, eksitensi Kerajaan ini turut memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sidenreng merupakan salah satu dari sedikit kerajaan yang tercatak dalam kitab “La Galigo” yang amat melegenda. Sementara masa La Galigo, menurut Christian Pelras yang menulis buku Manusia Bugis, berlangsung pada periode abad ke 11 dan 13 Masehi. Ini berarti Sidenreng merupakan salah satu kerajaan kuno atau pertama di Sulawesi Selatan. Di abad selajutnya, Kerajaan Sidenreng yang berpusat di sekitar danau besar (Tappareng karaja) menjadi salah satu negeri yang ramai dan terkenal hingga ke benua lain. Ini sesuai dengan catatan seorang Portugis di abad ke-16 M yang menuliskan Sidereng sebagai “…Sebuah kota besar dan terkenal, berpusat di sebuah danau yang dapat dilayari, dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman.” (Tiele 1880, IV;413).
Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugsi lainnya malah sempat menetap selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun 1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai dengan penduduk sekitar 300.000 orang. Ada yang berpendapat bahwa asumsi penduduk di tahun 1548 M yang disebut Pinto terlalu besar. Namun dengan kebesaran dan kejayaan Sidenreng di masa itu, tak menutup kemungkinan bahwa Sidereng mempunyai wilayah yang jauh lebih luas daripada Kabupaten Sidenreng Rappang atau wilayah Ajatappareng sekarang ini.
Ia juga menceritakan aktivitas perdagangan di kerajaan ini yang dikunjungi pedangang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis dengan muggunakan jalur laut menuju Tappareng Karaja. Pinto menulis, “Sebuah fusta besar (kapal layar portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya) dapat berlayar dari laut munuju Sidereng.”(Wicki, Documents Indica, II: 420-2).
Hal ini diperkuat oleh Crawfurd pada 1828 (Descriptive Dictionary; 74, 441) yang menulis, “pada kampung-kakmpung di tepi (danau)… berlangsung perdagangan luar negeri yang peset. Perahu-perahu dagang dihela ke hulu sungai Cenrana…Kecuali pada musim kemarau, airnya cukup dalam untuk dilewati perahu-perahu paling besar sekalipun.”
Sejarawan lainnya mencatat, “Sidenreng adalah perbatasan wilayah pengaruh Luwu dan Siang, terletak di antara dataran yang merupakan satu-satunya celah alami antara gugusan gunung yang memisahkan pantai barat dan timur semenanjung Sulawesi Selatan.” (Andaya 2004, Wari san Arung Palakka, Sejarah Sulawesi di Abad XVII).
Dalam literatur lain, Rappang disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai daerah hilir Sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Sidenreng, Sawitto, Alitta, Suppa, dan Bacukiki, mereka membentuk persekutuan Aja’Tappareng (wilayah barat danau) untuk membendung dominasi Luwu. Persekutuan itu kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluarga raja-raja mereka.